2013/05/11



Judul: Sang Guru & Secangkir Kopi: Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia
Penulis: Andi Achdian
Edisi Revisi, Januari 2013
Tebal: xxvi, 186 halaman
Penerbit: Eterna
ISBN: 978-602-174190-0



"Educator must be educated. Sebagai guru ia terus mendidik dirinya sendiri dengan hal-hal baru yang terjadi di dunia. Termasuk berdiskusi dan belajar dengan para muridnya."
Puti, sahabatku, memberikan buku ini beberapa hari yang lalu. Ia sangat terkesan dengan buku ini dan menurutnya aku akan menyukai buku ini. Ia selalu berapi-api saat menceritakan buku tersebut dan mengatakan, buku ini buku yang perlu dibaca oleh para guru.

Saya langsung terkesan begitu saya menghabiskan bab pertama. Begitu banyak yang mengesankan di sini sehingga saya ingin berhenti sejenak untuk menuliskan apa yang saya raup di bab ini. Begitu mengesankan sehingga saya tidak mau terburu-buru membaca supaya saya bisa mengendapkan bacaan saya.

Membaca buku ini seakan menyelinap masuk dalam sebuah 'ruang kelas'. Ruang tempat terjalinnya "love and hate relationship" guru dan murid, Onghokham dan Andi Achdian, sang penulis. Jangan salah, Ong tidak pernah secara formal menjadi dosen dari penulis. Namun dari persahabatan 'tidak sengaja' ini justru proses saling belajar ini terjadi.

Melalui buku ini saya seperti dapat merasakan karakter Ong mungkin untuk sebagian orang mungkin bukan contoh guru yang baik: pemabuk, kadang pemarah. Tapi keunikan karakter Ong ini seperti membumbui dan memperkaya pengalaman belajar sang penulis. Keunikan seorang guru, keunikan seorang sahabat. Betapa sang penulis begitu terkesan memiliki hubungan yang unik ini, dan belajar banyak dari sini :
"Saya sendiri tidak pernah merasa seperti sedang belajar. Semuanya mengalir begitu saja." 
"Pengalaman belajar dengan Ong adalah salah satu pengalaman belajar paling efektif yang pernah saya alami."
Dari hasil 'menyelinap' ini saya banyak melihat dan belajar menjadi guru yang baik. Seperti ketika Andi bercerita bahwa Ong tidak hanya mendidik benak kepala, tetapi juga hati. Ong tidak hanya mengasah "kepala" dari diskusi-diskusi, namun ia juga mengasah hati. Menggali hal-hal yang penting dari keseharian. Tentang rasa, tentang emosi. Misalnya saat penulis menceritakan pertanyaan Ong yang mungkin terlihat 'kecil' namun sangat mendasar : hal apa yang bisa menjadi sumber kemarahan sang penulis, lalu menjadi diskusi. Ya, pembelajaran itu personal, bisa berangkat dari emosi.

Hangat kopi pagi menjadi awal dari percakapan ringan hingga ke berat. Rumah yang berubah menjadi "kelas". Hal ini mengingatkan saya pada meja makan rumah saya tempat saya banyak belajar dari teman-teman yang mampir dan ikut menghangatkan meja tersebut dengan percakapan-percakapan mulai dari yang konyol, sampai diskusi yang cukup 'berat'. Atau seperti kamar tidur yang sering menjadi saksi percakapan saya dan teman-teman yang bermalam. Ya, belajar memang tidak mengenal batas ruang.

Buku ini mengingatkan saya bahwa belajar sejarah adalah belajar tentang manusia. Tentang kehidupan sosial. Tentang latar belakang dari keputusan-keputusan diambil kemudian menjadi catatan dunia. Belajar sejarah adalah belajar menjadi "kritis", salah satu modal penting menjadi sejarawan. Tentang keterampilan membaca detail-detail dalam kehidupan dan menggunakan logika untuk menerjemahkannya menjadi satu cerita peradaban. Kemudian kita belajar dan mencari hikmah dari cerita tersebut.

Ong juga memperlihatkan bahwa menjadi guru itu bukan berarti mencekok murid dengan isi benaknya. Ia lebih banyak memberikan saran tentang apa yang perlu dibaca dibandingkan memberi opini-opini, sama seperti guru-guru sang penulis di Nottingham. Yang perlu saya garis bawahi, bahwa guru hanyalah penggali apa yang tertanam di benak murid, bukan menuang ilmu ke dalam kelas yang kosong. Seperti pada kutipan Kahlil Gibran pada pembukanya :
Aku hanya berbicara padamu dengan kata-kata yang sebenarnya di dasar alam pikiranmu engkau sendiri telah tahu. Dan apakah arti pengetahuan kecuali sebentuk bayangan tanpa kata-kata? Pikiranmu dan kata-kataku adalah gelombang dari ingatan tak terpisahkan, yang menyimpan kenangan hari-hari kemarin kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar